Haloo kimiawan calon negarawan. Mungkin beberapa dari kalian sempat berpikir, buat apa sih susah-susah penelitian, capek-capek ngerjain skripsi, kalo ujung-ujungnya hasil kerja keras kalian itu cuma jadi tumpukan kertas yang bertumpuk jadi satu di sudut ruang. Mungkin itu adalah salah satu keresahan yang dirasakan banyak mahasiswa Indonesia saat ini. Mengapa sih hasil pemikiran insan-insan cendekia bangsa ini hanya dijadikan sebagai formalitas untuk syarat kelulusan?
Menurut Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar (Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial dan Anggota Dewan Pakar IABIE) Mengapa level riset kita secara internasional rendah? Level riset kita bahkan lebih rendah dibanding Malaysia, atau Vietnam. Tulisan ini mencoba mengungkap beberapa sebab.
Pertama karena kita tak lagi punya "science & technology leadership" (kepemimpinan iptek). Yang saya maksud adalah kepemimpinan di level elit nasional, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Masih ingatkah kita ketika dulu ada seorang Presiden "tertipu" oleh "penemuan blue energy", dan baru mengundang para peneliti setelah masyarakat ikut tertipu (tertipu berjama'ah). Di berbagai kementerian & lembaga, juga di kampus, ego sektoral / unital (sekalipun sama-sama untuk riset) sangat terasa. Demikian juga bagaimana dengan masyarakat kita sekarang ini, melek internet tetapi gampang sekali terkecoh oleh hoax, oleh isu-isu yang "too good / too bad to be true". Ketiadaan science leadership menyebabkan tidak terbangunnya "science behaviour" (perilaku ilmiah) dan "science tradition" (tradisi ilmiah). Ini pula alasan mengapa sekarang hoax via internet tumbuh subur. Teknologi diidentikkan dengan internet, dan berjuang di ranah teknologi diidentikkan dengan membuat cyber-army, dengan tugas tidak jauh dari menebar info yang menguntungkan kawan dan merugikan lawan politik, sekalipun itu hoax. Di sektor tataruang, meski sudah lebih dari 25 tahun ada teknologi geospasial, namun masih banyak Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun Rencana Detil Tata Ruang yang belum dibuat dengan analisis geospasial, melainkan hanya berdasarkan intuisi para politisi yang dibumbui bisikan para pengembang property. Di sektor industri, masih lebih banyak pabrik yang dibuat bukan berdasarkan kajian bahwa dalam sekian tahun kita akan mandiri di produk itu, tetapi hanya ikut dorongan principal di luar negeri atau trend pasar yang kadang sangat fluktuatif. Akibatnya "science & technology management" kita secara umum masih "acak-acakan".
Ini soal kedua. Kesulitan mendapatkan motivasi yang kuat, kesulitan mendapatkan role model, kesulitan menentukan mana yang prioritas, bagaimana membuat roadmap, bagaimana strategic plannya, berapa prosen dari PDB / APBN / APBD harus dianggarkan ke sana, siapa saja yang seharusnya berkolaborasi untuk berkompetisi di tingkat international, dsb. Di perguruan tinggi, mahasiswa kebingungan mencari topik riset S1, S2 maupun S3, karena dosen jarang yang punya kerangka akan riset apa? Dosen bingung karena prodi atau fakultas juga tidak punya grand design. Di negara maju, negara punya agenda riset yang jelas dan terukur, kemudian bisa dibagi-bagi ke seluruh campus hingga tingkat mahasiswa. Walhasil, setelah sekian tahun, hasil-hasil riset itu dapat dimosaik menjadi keunggulan iptek nasional.
Lantas ketiga, "science & technology difusion" (penyebarluasan ilmiah) kita saat ini nyaris bisu. Masyarakat jarang tahu apa yang terjadi di dunia riset tanah air. Media massa belum banyak terlibat, apalagi membantu. Rakyat lebih akrab dengan hingar bingar politik atau dunia seputar selebriti, daripada hasil-hasil intelektual anak bangsa. Para peneliti sendiri lebih merasa didorong oleh perolehan angka kredit (kum), sehingga akhirnya juga banyak yang merasa cukup dengan angka kredit yang didapat dari publikasi ilmiah, syukur-syukur internasional, daripada bahwa hasil riset mereka benar-benar diketahui masyarakat luas untuk diaplikasikan. Mereka cukup puas merasa bahwa "with international scientific publication, we are welcome to international scientific communitiy, and growing to international level", tapi harusnya juga sadar bahwa "with international level, we get international responsibility". Kurang masifnya difusi iptek menyebabkan komunitas yang percaya kepada hoax akhir-akhir ini dirasakan meningkat, misalnya komunitas FlatEarth (yang meyakini bumi datar dan menuduh seluruh proyek ruang angkasa sebagai dusta), atau komunitas antivaksin (yang meyakini vaksin justru melemahkan manusia dan merupakan upaya depopulasi). Komunitas-komunitas ini mencampuradukkan keraguan mereka pada iptek dengan keyakinan agama dan prasangka +konspirasi politik.
Lalu keempat, "science & technology adoption" di pemerintah (baik berupa kebijakan umum maupun implementasi di pengadaan barang & jasa) maupun di swasta (B2B) juga "masuk angin". Bahkan teknologi canggih yang kebetulan dikembangkan di sesama negara berkembang (South-South-Dialog), semisal dari Brazil, meski dikembangkan oleh pakar yang sempat berkarier 20 tahun di Jerman, sulit diadopsi di Indonesia. Antara lain karena selama proses tender sulit mendapatkan modal kerja dari bank setempat, meski mutu – harga – waktu penyerahannya lebih unggul dibanding produk sejenis dari Jepang atau China. Apalagi kalau yang murni dikembangkan di Indonesia oleh orang-orang yang baru berpengalaman di Indonesia. Terkadang, untuk uji real di lapangan saja, mencari ijinnya setengah mati. Apalagi ijin industri atau ijin perdagangan. Kasus riset alat terapi kanker dari Dr. Warsito tempo hari menjadi salah satu contoh. Demikian juga riset mobil listrik, yang kemudian sebagian pelakunya malah sampai dipidana. Sebagian peneliti kita akhirnya hengkang ke luar negeri, mencari negeri tempat talentanya bisa disalurkan. Sebagian lagi tetap di dalam negeri, namun mengabdikan diri untuk pesanan asing. Hasil karya mereka kelak akan terpaksa kita beli dengan devisa, bahkan mungkin dengan utang luar negeri, akibat kita salah mengelola riset atau terlambat mengadopsi hasil riset anak-anak bangsa.
Dan terakhir "science & technology audit" menjadi nyaris tidak ada. Perkembangan riset iptek di tanah air jadi sulit dievaluasi dan dikontrol, karena mau dibandingkan dengan apa? Ketika leadership lemah, maka nyaris tak ada roadmap, sehingga kemajuan risetpun jadi sulit dinilai. Berapa peneliti dan penelitian yang seharusnya ada di bidang kepakaran apa, bagaimana kualitasnya, berapa output & outcome yang seharusnya dihasilkan, semua masih mirip fatamorgana. Oleh karena itu, meski sudah ada kebijakan untuk mekanisme anggaran riset berbasis output, penulis memprediksi, dalam waktu dekat masih akan ada banyak kendala dalam implementasinya.
Tentu saja selalu ada orang-orang hebat yang menjadi perkecualian. Merekalah para pionir, yang tetap memiliki mahakarya, meski di bawah kondisi yang maha sulit ini. Semoga Allah membalas mereka dengan balasan yang lebih baik.
LEVEL RISET KITA (Republika, 18 Feb 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah mengunjungi website resmi Himpunan Mahasiswa Kimia FMIPA UNY