Obat untuk COVID-19 !!! Simak Faktanya
COVID-19 akibat virus
SARS-CoV-2 merupakan suatu pandemik. Pandemik adalah kejadian epidemi yang
terjadi secara global dan terjadi pada banyak negara. Sampai saat ini, belum
ada terapi yang pasti dan direkomendasikan untuk COVID-19, karena memang
penyakitnya masih baru. COVID-19 disebabkan karena infeksi virus, maka terapi
kuratif untuk COVID-19 adalah menggunakan antivirus. Namun demikian, semua
antivirus yang digunakan dalam terapi COVID-19 di hampir semua negara masih
berupa trial and error. Beberapa di
antaranya mengacu pada terapi antivirus yang digunakan pada saat terjadi
epidemi SARS dan MERS beberapa tahun yang lalu, misalnya menggunakan lopinavir,
ritonavir, ribavirin, oseltamivir, dll. Obat-obat ini pernah digunakan dan
cukup efektif mengatasi SARS dan MERS pada saat epidemi yang lalu. Demikian
pula di Indonesia, belum ada panduan yang pasti di dalam mengatasi COVID-19 dan
hanya mengandalkan sediaan yang ada, misalnya oseltamivir yang saat ini banyak
digunakan dalam mengatasi COVID-19. Dengan telah mulai meredanya wabah COVID-19
di China, maka Indonesia mencoba mengacu pada China mengenai obat-obat yang
digunakan, diantaranya adalah Chloroquine dan Avigan.
Apa itu Chloroquine dan Avigan? Untuk Apa Chloroquine dan Avigan?
Chloroquine adalah obat yang
digunakan untuk mencegah dan mengobati malaria atau mengobati
penyakit menular yang disebabkan oleh nyamuk yang terinfeksi parasit. Selain
sebagai antimalaria, klorokuin juga banyak digunakan dalam terapi penyakit
autoimun, seperti Lupus, Rheumatoid artritis, dll. Sebagai obat pada penyakit
autoimun, klorokuin yang bersifat basa bekerja dengan cara menembus ke
dalam sel dan terkonsentrasi di dalam rongga sitoplasma yang bersifat asam. Hal
ini menyebabkan kenaikan pH di dalam vesikel pada sel makrofag atau sel penyaji
antigen (antigen presenting cells) lainnya
yang mempengaruhi respon imun terhadap antigen, sehingga berperan sebagai imunosupresan
(Fox, 1996). Klorokuin juga diketahui dapat menekan sintesis TNF-alfa dan IL-6
pada sel monosit (Jang et al, 2006), sehingga banyak digunakan sebagai obat
untuk rematoid artritis.
Ternyata klorokuin
(dan hidroksiklorokuin) juga dapat digunakan juga untuk terapi antiviral.
Vincent dkk (2005) melaporkan bahwa klorokuin memiliki efek antiviral yang kuat
terhadap virus SARS-CoV pada sel primata. Efek penghambatan ini teramati ketika
sel diperlakukan dengan klorokuin baik sebelum maupun sesudah paparan virus,
yang menunjukkan bahwa klorokuin memiliki efek pencegahan maupun efek terapi.
Selain yang sudah diketahui bahwa klorokuin meningkatkan pH endosomal yang
menghambat replikasi virus (Al Bari, 2017), obat ini nampaknya berinteraksi
dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) selular.
Hal ini menyebabkan penghambatan terhadap ikatan virus dengan reseptor,
sehingga dapat mencegah infeksi maupun penyebaran virus SARS-CoV pada
konsentrasi yang dapat menyebabkan gejala klinis. Pada pandemik SARS-CoV2 di
China, klorokuin telah digunakan dengan dosis 500 mg untuk dewasa, 2 kali
sehari, lama terapi ≤10 hari (Du dan Qu, 2020). Klorokuin (dan
hidroksiklorokuin) saat ini juga sedang dicoba di Malaysia dengan dosis yang
sama dengan yang digunakan di China.
"Sekali lagi chloroquine adalah obat yang digunakan
untuk penyembuhan bukan untuk pencegahan. Masyarakat tidak perlu
berbondong-bondong untuk membeli dan menyimpannya di rumah. Ingat klorokuin
adalah obat keras yang hanya bisa dibeli dengan resep dokter," ujar Yurianto juru bicara pemerintah dalam penangan COVID-19.
Sedangkan
Avigan adalah nama paten dari favipiravir, yang juga dikenal sebagai
T-705, suatu obat antivirus yang dikembangkan oleh Toyama Chemical (kelompok
Fujifilm) Jepang dengan aktivitas melawan banyak virus RNA. Obat ini merupakan
turunan pyrazinecarboxamide. Dalam percobaan yang
dilakukan pada hewan, Favipiravir menunjukkan aktivitas melawan virus
influenza, virus West Nile, virus demam kuning, virus penyakit kaki-dan-mulut,
serta virus flavivirus, arenavirus, bunyavirus, dan alphavirus lainnya (Furuta,
et al, 2017). Aktivitas melawan enterovirus dan virus demam Rift Valley
juga telah dibuktikan. Di Jepang, obat ini awalnya dikembangkan sebagai obat
flu. Pada Februari 2020, Favipiravir digunakan di Cina untuk percobaan
pengobatan penyakit COVID-19 (novel coronavirus) yang muncul.
Efek Samping Chloroquine dan Avigan
Beberapa pasien yang mengonsumsi chloroquine
(klorokuin) dalam jangka waktu lama atau dosis tinggi melaporkan adanya
kerusakan permanen pada retina mata. Selain itu juga menyebabkan :
1. gatal-gatal2. kesulitan bernapas
3. pembengkakan wajah, bibir, lidah, atau tenggorokan
4. gangguan penglihatan, kesulitan membaca atau melihat suatu obyek, penglihatan berkabut
5. hilang pendengaran atau telinga berdengung
6. kejang
7. lemah otot akut, hilang koordinasi tangan dan kaki, refleks melambat.
8. mual, nyeri pada perut bagian atas, gatal-gatal, hilang nafsu makan, urin berwarna gelap.
9. feses berwarna
pucat, jaundice (kulit dan mata menguning)
10. diare, muntah-muntah, kram perut.
11. kerontokan rambut sementara, perubahan warna rambut.
12. otot terasa lemas
10. diare, muntah-muntah, kram perut.
11. kerontokan rambut sementara, perubahan warna rambut.
12. otot terasa lemas
Sedangkan
Obat flu Avigan asal
Jepang ini harus digunakan dengan sangat hati-hati di bawah pengawasan ketat
tim medis. Karena efek sampingnya cukup serius dan fatal. Selain iyu, obat flu
Avigan tidak boleh dikonsumsi oleh wanita hamil. Obat ini akan memberi pengaruh
pada janin sehingga bentuk janin mengalami kelainan. Kementerian Makanan dan
Obat-obatan Korea Selatan juga memutuskan untuk tidak mengimpor obat ini
setelah pakar infeksi penyakit mengatakan kurangnya data klinis untuk buktikan
efektivitas obat. Hal ini dilaporkan dari Yonhap News Agency pada pekan ini.
Sumber :
https://tirto.id/klorokuin-dan-avigan-sebagai-obat-corona-belum-ada-bukti-klinis-eGUx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah mengunjungi website resmi Himpunan Mahasiswa Kimia FMIPA UNY