Oleh: Fadly Ryan Wicaksana
Ada hal kecil yang membuat dunia merasa kerdil
Kesehatan dan ekonomi mejadi dua hal penting namun sulit bersanding
Aktivitas diduakan, karena bentuk perjuangan negeri justru berada di rumah sendiri
Menghadapi dengan bijak, bukan panik tanpa memikirkan orang banyak
Pada artikel yang saya buat kali ini membahas suatu hal yang tidak kalah penting dibalik adanya pandemi yang berkaitan dengan ekonomi-politik di Indonesia. Banyak pembahasan yang dilakukan dalam diskusi dengan Aditya Nurullahi P., S.Hum. (Tenaga Ahli Anggota Komisi VIII DPR RI) yang diselenggarakan oleh Kulo Klaten, dan saya rangkum dalam artikel ini. Memberikan gambaran kondisi terkait ekonomi-politik yang terjadi di negeri tercinta ini dengan masif dan komprehensif.
Penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia yang semakin ganas memberikan kecemasan kolektif apabila ia menjangkit terlalu lama di Indonesia. Covid-19 secara perlahan akan menggiring Indonesia pada potensi krisis di sejumlah lini strategis sehingga tidak menutup kemungkinan akan membawa Indonesia pada krisis ekonomi yang berbuntut pada krisis politik.
Salah seorang pengamat pernah berkata, “…bayang-bayang kematian yang ditimbulkan oleh Covid-19 kepada seseorang sebenarnya tidak semengerikan dampak jangka panjang yang akan ia timbulkan pada satu negara…” Hantaman pada sektor ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 begitu keras. Menurut laporan yang dirilis oleh OECD pada Maret 2020, GDP global diprediksi akan jatuh sebesar 2,4% pada 2020. Bahkan pertumbuhan GDP riil Indonesia menyusut sebesar 0,2% dimana sebelumnya berkisar di angka 5%.
Masih menurut laporan yang sama, Cina, sebagai tempat awal persebaran Covid-19 memainkan peran penting dalam ekonomi global. Secara persentase, industri Cina memberi sumbangsih berkisar 22% terhadap ekonomi global, kemudian diikuti oleh GDP dan perdagangan global dimana masing-masing memberikan kontribusi sebesar 17% dan 10%. Selain itu, Cina dikenal sebagai pusat produksi barang dunia dan telah memberikan sumbangsih sebesar 12,8% terhadap produksi barang dunia. Alhasil, ketika produksi barang di Cina terhambat maka akan mempengaruhi suplai terhadap permintaan global. Jumlah penawaran yang lebih kecil ketimbang permintaan akan menimbulkan kenaikan harga dari batas wajar.
Dalam hubungannya dengan Indonesia, Cina memberikan pengaruh signifikan pada sektor perdagangan, pariwisata, dan komoditas lain. Pada sektor industri misalnya, Cina merupakan salah satu negara supplier bahan baku terbesar bagi industri manufaktur di Indonesia. Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menerangkan, hampir 74% bahan baku industri di Indonesia diimpor dari negeri tirai bambu tersebut. Bahkan, nilai impor baku non-minyak dan gas dari Cina sejak 2019 mencapai US$ 44,5 juta.
Selain dari sektor manufaktur, industri pariwisata juga memiliki pengaruh signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Data dari BPS menunjukan kunjungan wisatawan Cina ke Indonesia selama periode Januari sampai Juni mencapai 1,05 juta orang. Bahkan, dari jumlah 13,6 juta wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia, turis Cina menempati posisi kedua terbanyak. Kunjungan mereka setiap tahunnya diperkirakan mencapai 2 juta wisatawan dengan total belanja US$1.400 (Rp 19,2 juta) per kunjungan.
Sejak wabah Covid-19 merebak, angka wisatawan asing dari Cina menurun drastis, terlebih sejak diberlakukannya travel ban dari pemerintah Indonesia. Kebijakan ini terpaksa dilakukan sebagai upaya mitigasi kendati langkah tersebut disesalkan oleh duta besar Cina untuk Indonesia.
Berdasarkan keterangan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), sejak pemberlakuan tersebut diprediksi Indonesia akan kehilangan Rp54,8T dari sektor pariwisata. Perlu diketahui, pada tutup buku 2018, sektor pariwisata mampu menyumbang devisa terbesar dengan nilai mencapai US$ 19,2 miliar mengalahkan sektor migas dimana Bali tercatat sebagai penyumbang terbesar mencapai 40%.
Kehadiran wabah Covid-19 memberikan dampak secara sistemik terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Terganggunya suplai bahan baku untuk industri manufaktur dari Cina serta menurunnya jumlah wisatawan akan berdampak krisis pada pemasukan negara. Meskipun pemerintah telah meluncurkan kebijakan insentif fiskal berupa penghilangan pajak penghasilan selama 6 bulan ke depan bagi pekerja maupun perusahaan dalam upaya memelihara daya beli masyarakat. Namun, tidak ada ukuran pasti sejauh mana kebijakan insentif tersebut mampu bekerja secara efektif. Apalagi, model kebijakan ini belum tentu dirasakan oleh segmen masyarakat non-urban seperti petani, nelayan, pengrajin, dan lain-lain.
Warwick McKibbin dan Roshen Fernando dalam The Global Macroeconomic Impacts of COVID-19: Seven Scenarios (2020), memaparkan bagaimana wabah Covid-19 berimbas pada sektor ekonomi secara makro. Dengan menggunakan model skenario epidemiologis, mereka memaparkan bahwa penyebaran Covid-19 memberikan pengaruh signifikan pada beberapa lini ekonomi makro, misalnya anggaran pemerintah untuk infrastruktur kesehatan, permintaan konsumsi, biaya produksi dari berbagai sektor, dan tenaga kerja.
Lebih lanjut, realokasi anggaran untuk infrastruktur kesehatan akan berpengaruh pada anggaran belanja pada sektor lain yang akan dikurangi. Pasokan suplai akan terganggu sehingga meningkatnya biaya produksi. Biaya produksi meningkat seiring dengan melonjaknya permintaan namun kapasitas yang terbatas. Hal ini juga dipengaruhi, pemenuhan tenaga kerja untuk industri yang tidak memadai karena wabah yang melanda pegawai sehingga berpengaruh pada kapasitas produksi. Lebih lanjut, pandemi Covid-19 pada akhirnya mengakibatkan investasi dan konsumsi anjlok.
Menurut Fuad Bawazier dalam Virus Corona dan Resesi Ekonomi (2020), dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 3,64% sampai 3,82% akan banyak sekali terjadi pemutusan hubungan kerja, angka pengangguran akan meningkat tajam, demikian pula angka kemiskinan. Sektor konsumsi yang selama ini berkontribusi lebih dari 50% PDB akan melemah, daya beli masyarakat semakin merosot. Kondisi pertumbuhan ekonomi tersebut akan menjadi lebih rendah dari kondisi saat terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2009, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,14%.
Nilai perdagangan barang dan jasa dengan Cina yang mendadak anjlok akibat Corona membuat pemerintah Indonesia perlu mencari alternatif lain. Tingkat ketergantungan Indonesia terhadap Cina yang cukup tinggi turut berpengaruh pada derajat kemandirian ekonomi yang rendah. Wabah perlu segera ditangani dengan serius sebelum berdampak lebih jauh.
Jika kita mencermati pola sejarah, krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998 menjadi entry point krisis politik setelahnya sehingga membuat Soeharto lengser. Tidak menutup kemungkinan juga jika pola serupa bisa terjadi kembali ketika wabah tidak segera ditangani. Corona Memicu Instabilitas Politik. Mungkinkah?
Dalam Coronavirus: The Health, Economic and Geopolitical consequences (2020), John Scott menyampaikan bahwa rakyat akan membenci pemerintah yang gagal melindungi warga negaranya. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa rakyat tidak akan kembali memilih politisi yang gagal dalam dalam melaksanakan tanggung jawabnya pada pemilu mendatang. Selain itu, Chris Miller dalam COVID-19 Crisis: Political and Economic Aftershocks (2020), menambahkan bahwa sejak wabah Covid-19 merebak telah terjadi krisis kepercayaan (Problem of Trust) warga negara terhadap kekuasaan.
Lebih lanjut, ia mencontohkan sejumlah kepala negara seperti Moon Jae In (Korea Selatan), Shinzo Abe (Jepang), dan Donald Trump (AS) memperoleh banjir kritik atas ketidakmampuan mereka menangani virus dan membiarkan korban terjangkit terus bertambah.
Melansir dari New York Times (10/3/2020), muncul spekulasi yang menguat bahwa besar kemungkinan Perdana Menteri Shinzo Abe “didepak” lebih awal dari kekuasaan sebelum masa jabatannya berakhir dikarenakan kinerja pemerintah Jepang di bawah kepemimpinannya yang dinilai tidak maksimal dalam pencegahan serta penanganan wabah COVID-19 sehingga menyebabkan 639 warganya terinfeksi disusul 15 kasus kematian. Masih menurut Chris, bayang-bayang kejatuhan politik tidak hanya menghantui Shinzo Abe tetapi juga menghantui Donald Trump dan Moon Jae In.
Chris menerangkan, kesempatan Trump untuk memenangkan pilpres di periode mendatang bahkan diprediksi semakin mengecil jika COVID-19 terus memberikan dampak pada perlambatan ekonomi bahkan resesi bagi Amerika. Sebagai informasi, per 12 Maret 2020 jumlah kasus pasien yang terinfeksi di negeri Paman Sam ini berjumlah 1.327 dengan jumlah kematian 38 jiwa.
Nasib lebih sial bahkan menimpa Moon. Semenjak Korea Selatan (Korsel) ditetapkan sebagai negara dengan infeksi terbanyak setelah Cina, ratusan ribu warga Korsel menandatangani petisi agar Moon segera turun dari kursi Perdana Menteri. Protes warga tersebut cukup beralasan mengingat sampai hari ini jumlah kematian akibat kasus Covid-19 di Korea Selatan bertambah menjadi 66 jiwa dengan total pasien terinfeksi sebanyak 7.869 kasus per 12 Maret. Namun, pemerintah Korea Selatan terus berbenah sehingga secara perlahan berhasil menekan angka penularan dan meningkatkan angka pasien yang sembuh.
Jika berkaca pada fenomena global tersebut, Covid-19 tidak bisa hanya dimaknai sebagai wabah penyakit global. Dalam konteks politik, Covid-19 adalah bencana politik yang tercipta secara alamiah atau by nature untuk menguji tingkat kepercayaan publik terhadap pemangku kekuasaan. Keterbukaan dan sikap responsif pemerintah akan membantu publik untuk berhenti berspekulasi di tengah keadaan yang dinamis tersebut. Efektivitas pemerintah dalam merespon ancaman pandemi ini akan menunjukan sejauh mana simpati publik pada kekuasaan terus terpelihara. Hal tersebut bisa dilakukan dengan meningkatkan kinerja pemerintah, pusat maupun daerah, dalam penanganan dan pencegahan penularan penyakit agar tidak meluas, dalam konteks geografis maupun dampak multidimensi (ekonomi, politik, sosial).
Bukan hal yang muskil ketika keresahan politik yang terjadi di tengah masyarakat negara-negara tersebut turut ditularkan juga kepada masyarakat Indonesia. Kekuasaan akan semakin diguncang secara alamiah. Legitimasinya mulai dipertanyakan. Apalagi, beberapa isu politik nasional dalam beberapa hari terakhir semakin mempertajam indikasi ke arah tersebut.
Pertama, wacana reshuffle kabinet. Isu ini cukup santer diberitakan pada akhir Februari lalu. Sejumlah pengamat menilai bahwa kemunculan wacana ini sebelum genap satu tahun masa pemerintahan Jokowi mengindikasikan ada yang tidak beres dengan “dapur” istana. Hal ini juga diperkuat dengan sikap “gerah” Presiden terhadap Menteri Kesehatan dalam merespon Covid-19 sehingga harus menunjuk Ahmad Yurianto, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, sebagai jubir resmi pemerintah untuk penanganan kasus Corona. Aroma ketidakharmonisan justru semakin kentara di tengah situasi genting. Publik akhirnya semakin liar berspekulasi seraya mempertanyakan sejauh mana keseriusan pemerintah dalam menangani pandemi Covid 19.
Kedua, gerakan masyarakat sipil semakin solid dan berkesinambungan. Vincent Durac, dalam Protest Movement and Political Change (2013), menyampaikan bahwa tertutupnya sistem politik (pengaruh oligarki) disertai dengan tekanan kondisi sosial ekonomi di masyarakat mendorong tuntutan yang lebih kuat dari masyarakat untuk bergantinya kekuasaan. Ia menambahkan, gerakan massa tersebut biasanya bersifat informal, menggunakan perangkat komunikasi yang baru, dan memiliki watak ofensif kepada aparatur negara.
Riak-riak protes masyarakat terhadap kekuasaan sebenarnya telah tumbuh secara sporadis di beberapa daerah. Gerakan mahasiswa #ReformasiDikorupsi pada 2019 lalu tidak bisa dimaknai sebagai klimaks semata. Justru, ia adalah sumbu awal yang menyemai benih-benih protes selanjutnya. Masyarakat semakin cerdas politik sehingga mereka lebih kritis pada isu yang menyangkut hajat hidup mereka. Hal tersebut terbukti dari banyaknya demonstrasi akhir-akhir ini yang diinisiasi oleh aliansi masyarakat sipil untuk menolak RUU Omnibus Law. Meskipun terjadi secara sporadis di sejumlah daerah, aksi-aksi dengan mengusung narasi yang sama ini menandakan bahwa terjadi kemerosotan public trust terhadap kekuasaan. Fenomena protes menolak RUU Omnibus Law mencerminkan sinisme publik dalam melihat kinerja pemerintah yang mulai mengkhawatirkan bahkan sebelum genap satu tahun berkuasa. Hal ini perlu mendapat perhatian dan ditanggapi lebih cermat agar public trust terhadap pemerintah bisa tetap terpelihara hingga akhir periode kekuasaan.
Segala prediksi yang penulis ungkapkan di atas sifatnya masih spekulatif dengan melihat data dan pola-pola yang terjadi di masyarakat maupun realitas global yang terjadi saat ini. Arnold Toynbee, seorang sejarawan terkemuka memandang bahwa sejarah bergerak seperti siklus. Ia akan terulang melalui pola-pola yang sama kendati dalam rentang waktu dan pelaku yang berbeda. Ia menambahkan, kemajuan dan kemunduran sebuah masyarakat dalam sebuah peradaban ditentukan dari cara mereka merespon tantangan.
Kita selalu berharap bahwa kesiapan maupun sikap kita dalam menghadapi pandemi Covid 19 tidak diperkeruh oleh isu politik. Pemerintah pusat tidak perlu menaruh kecurigaan politis dengan pemerintah daerah yang mengambil tindakan inisiatif lebih awal. Pemerintah daerah juga perlu mengedepankan koordinasi yang baik di awal dengan pemerintah pusat sebelum mengambil kebijakan strategis di wilayah. Agar bisa saling sinergis dan tidak saling curiga.
Keselamatan dan perlindungan terhadap warga negara perlu diutamakan. Kepercayaan publik pada kekuasaan akan terpelihara dengan sendirinya seiring dengan kehadiran negara di tengah mereka. Segala kebijakan yang berorientasi pada kemanusiaan pada akhirnya akan menciptakan keselamatan bagi sebuah negara. Dalam situasi krisis ini, respon yang tepat dari pemerintah akan menghasilkan kemaslahatan rakyat, bangsa, dan negara.
-->
QNA!
1. Nilai rupiah telah jatuh hampir menyentuh angka Rp17.000 pada hari ini. Untuk itu apa kira-kira kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah untuk menstabilkan nilai rupiah?
Ø Segera tekan angka penyebaran. Jika wabah berhasil ditangani dengan baik akan memberi pengaruh pada perputaran roda ekonomi di akar rumput. Investor juga akan kembali.
2. Harga alat alat medis yg diperlukan dalam pencegahan Covid-19 (masker, handsanitizer, sabun cuci tangan, dsb) sekarang ini langka di pasaran dan banyak pihak-pihak yang menjual barang tersebut dengan harga mahal dan memanfaatkan kepanikan masyarakat. Memang benar hal tersebut sesuai hukum permintaan jika permintaan meningkat maka harga meningkat. Untuk itu bagaimana cara agar barang-barang tersebut kembali normal? Apakah dapat dibenarkan alat kesehatan dijadikan bahan permainan (sekaligus mempermainkan kesehatan) seolah-olah sehat mahal harganya?
Ø Jelas tidak dibenarkan melakukan permainan harga. Oleh karena itu pihak kepolisian segera bertindak dengan melakukan operasi khusus untuk menindak para penimbun dan penyelundup, ini perlu diapresiasi. Pemerintah juga baru-baru ini menerima hibah dari Jack Ma dan pemerintah Cina untuk kebutuhan logistik tenaga medis.
3. Indonesia sedang menggalakkan work from home dan social distance saat ini. Kira-kira bagaimana risk and benefitatas kebijakan tersebut, dan siapa pihak yg diuntungkan dan dirugikan atas kebijakan tersebut?
Ø Terkait kebijakan social distancing sebenarnya telah diatur oleh konstitusi. Pertama, UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan pasal 15 ayat 2 poin (b); “Tindakan kekarantinaan sebagaimana dimaksud pada ayat satu berupa pembatasan sosial berskala besar” (amanah secara kelembagaan).
Ø Kedua, berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 pasal 10 disebutkan bahwa setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan sehat baik fisik, biologi, maupun sosial. (amanah secara individu).
Ø Social distancing menjadi hal sulit karena pertimbangan ekonomi. Khususnya, bagi segmen pekerja nonformal. Sehingga wajar jika di episentrum corona di Indonesia, Jakarta, kita masih sering menemukan kerumunan, rata-rata mereka adalah pekerja dengan penghasilan di bawah UMR. Mereka inilah yang perlu dipelihara kebutuhan ekonominya agar mereka tetap bisa tinggal di rumah sehingga bisa mengurangi suplai pasien ke rumah sakit.
Ø Dalam UU No 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan Bab 3 pasal 8, “Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina”; Pasal 6, “Pusat dan daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan kekarantiaan kesehatan.” Pertanyaannya adalah sejauh mana pemerintah sudah memenuhi amanah konstitusi tersebut?
Ø Dalam perspektif pekerja, WFH lebih menguntungkan mereka yang bisa melakukan dari jarak jauh. PNS, Arsitek, tenaga ahli, dll. Sedangkan untuk mereka yang bekerja di sektor manufaktur sangat sulit. Buruh dan pekerjaan yang memang harus dilakukan on site. Jika tidak ada pekerja, pabrik akan berhenti produksi dan merugi. Tapi dari fenomena WFH akhirnya kita sadar bahwa beberapa profesi bisa dilakukan di rumah. Jelas ini langkah efisiensi yang bisa punya pengaruh untuk mengurangi kemacetan.
4. Apakah memungkinkan jika Indonesia melakukan lockdown? Bagaimana dampaknya terhadap Indonesia? Terutama pada sektor perekonomiannya. Bagaimana dampaknya terhadap pedagang kecil dan pedagang pasar? Kebijakan apa yang sekiranya tepat?
Ø Jelas pertimbangan ekonomi menjadi aspek fundamental. Korea dan Italia berani melakukan lockdown karena mereka memiliki devisa yang cukup untuk me-cover anggaran belanja selama wabah berlangsung. Sedangkan Indonesia tidak memiliki kapasitas tersebut. Jika lockdown dilakukan, para pedagang di pasar akan mengalami kesulitan, bahkan kelangkaan memperoleh suplai barang dari luar sehingga berpengaruh pada peningkatan harga. Lantas apakah daya beli masyarakat cukup memadai menghadapi hal itu? Sejauh ini yang bisa dilakukan adalah ikuti dulu anjuran pemerintah untuk melakukan social distancing. Sebab ini kuncinya. Wabah yang mereda akan menggairahkan kembali roda ekonomi di masyarakat.
5. Menangapi isu yang beredar bahwa pemilu akan dijalankan ditengah situasi indonesia yang sedang berada di dalam virus corona. Padahal corona menular melalui kontak langsung, sedangkan pemilu harus ada kontak langsung. Pertanyaannya apakah kita harus tetap menjaga diri di rumah untuk menghindari covid 19 ataukah kita harus menyampaikan aspirasi kita untuk memilih?
Ø Berdasarkan kabar dari teman-teman KPU, jika wabah tidak menunjukan penurunan akan ada penundaan sampai kondisi membaik. Atau paling mungkin adalah melakukan e-vote. Namun, kembali perlu ditanyakan, anggaran memadai atau tidak? Bahkan masa sidang di DPR pun turut diundur, dan beberapa agenda strategis di kementerian turut diundur.
6. Mungkinkah kasus pandemi global dapat diselesaikan dengan kerja sama? Jika kerja sama, bagaimana posisi tawar negara berkembang seperti Indonesia? Apakah dengan kerja sama Indonesia menjadi ketergantungan dengan negara lain?
Ø Pasal 12, “Dalam hal Kedaruratan Kesehatan Masyarakat merupakan kejadian yang meresahkan dunia, Pemerintah Pusat memberitahukan kepada pihak internasional sesuai dengan ketentuan hukum internasional.” Pasal 13 (1), “Pada kejadian Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia, Pemerintah pusat melakukan komunikasi, koordinasi, dan kerja sama dengan negara lain dan/atau organisasi internasional.” Pasal 13 (2), “Komunikasi, koordinasi, dan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab, gejala dan tanda, faktor yang mempengaruhi, dan dampak yang ditimbulkan, serta tindakan yang harus dilakukan.” Sebagai acuan, kita bisa lihat UU No 16 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan seperti pasal di atas.
Ø Bahkan WHO mendorong setiap negara untuk saling membantu dalam melawan musuh umat manusia ini. Cina bahkan mulai membantu sejumlah Italia dan Persia. Bahkan pada 12 Februari lalu Presiden Xi Jinping melakukan sambungan telepon ke Gedung Putih untuk meminta bantuan AS. Padahal mereka tengah perang dagang. Ketika kasus kematian di Cina sedang tinggi-tingginnya, selama Indonesia belum memiliki daya riset yang memadai bahkan berdikari secara ekonomi, tingkat ketergantungan kita akan tetap tinggi.
7. Bagaimana upaya yang telah dilakukan negara untuk memelihara ekonomi dari warga yang kerjanya tidak bisa dari rumah, yang katanya UMRnya kecil, udah dikasih apa?
Ø Dalam UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan Bab 3 pasal 8, “Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina” Pasal 6, “Pusat dan daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan kekarantianaan kesehatan”
Ø Sejauh saya pribadi baru melihat inisiasi yang justru dilakukan oleh masyarakat melalui penggalangan dana untuk diberikan kepada mereka yang bekerja di sektor informal. Saya belum mendapati semacam bantuan pangan murah atau sejenisnya dari pemerintah bagi mereka yang social distancing, khususnya segmen pekerja informal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah mengunjungi website resmi Himpunan Mahasiswa Kimia FMIPA UNY