Karya: Zhanshi
Siang ini seharusnya tidak turun hujan, tetapi semua prakiraan cuaca hari ini salah. Pepatah itu benar adanya, sedia payung sebelum hujan. Aku hanya bisa menatap butiran-butiran air itu turun ke bumi tanpa ada rasa ketertarikan sedikit pun. Aku selalu membenci hujan karena mereka menghalangiku melakukan banyak hal. Mereka bahkan menghalangiku kembali ke rumah. Seandainya saja ada seseorang yang datang dan memberikanku payung untuk melindungiku dari hujan.
Tidak mungkin, itu semua hanya terjadi di drama tontonanku. Jangan terlalu berharap.
Tiba-tiba, aku melihat tangan yang terulur kepadaku. Dengan perlahan aku menelusuri siapa pemilik tangan itu, mulai dari telapaknya, lengannya, dan akhirnya wajahnya yang terguyur oleh tangisan langit. Tangan kanannya memegang payung berwarna biru tua yang kini berada di atas kepalaku.
“Siapa kau?” tanyaku perlahan pada pria yang mengulurkan tangan itu. Dia hanya tersenyum, tidak memberikan jawaban.
Mungkin dia tidak mendengarnya, pikirku. Aku mencoba bertanya sekali lagi dengan lebih keras, “Siapa kau?” Dia masih tidak menjawab.
Aku bertanya lagi padanya, “Apakah kau mengenalku?” Pria itu mengangguk dan masih tersenyum. Ini aneh, dia tidak berbicara dari tadi. Apakah dia bisu?
“Maaf, apakah kau tunawicara?” tanyaku takut. Ia menggeleng dan tersenyum. Tangannya masih terulur, aku memberanikan diri menatap matanya. Hanya ketulusan yang kulihat di mata lebarnya. Akhirnya aku membalas uluran tangannya.
“Apakah kau tahu di mana rumahku?”
tanyaku, lagi-lagi ia mengangguk. Ia segera melangkah dengan semangat, aku ikut
menyamakan langkahnya dan tersenyum.
***
Siang itu, di tengah hujan, sepasang manusia berjalan bersama tanpa ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka masing-masing. Si perempuan tampak mengamati tetesan awan sementara si pria hanya tersenyum.
“Oh, hujannya mulai berhenti!” mereka menatap langit bersama-sama karena teriakan si perempuan. Tersirat kesedihan di wajah si pria karena hujan akan segera berhenti.
“Itu rumahku!” tepat saat mereka sampai di tujuan, hujan berhenti, pria itu menghilang seketika.
“Astaga, aku bahkan belum sempat berterima kasih, sepertinya ia orang yang sibuk,” senyum itu masih bertahan di bibir merah muda si perempuan sampai ia memasuki rumah itu.
Hari berikutnya, perempuan itu duduk lagi di halte yang sama. Diam-diam ia berharap agar dapat bertemu pria itu lagi. Awan gelap mulai menyatu menjadi satu dan meneteskan air perlahan-lahan, saat itu pula si pria kembali muncul dengan posisi sama. Kali ini tanpa berpikir panjang, si perempuan menyambut uluran tangan itu dengan hangat. Sepanjang perjalanan mereka tertawa bersama, suasana terasa hangat.
“Ah, terima kasih untuk kemarin dan hari ini,” kata si perempuan. Si pria hanya mengangguk dan tersenyum.
“Oh, kita sudah sampai. Karena hujan belum berhenti kau bisa masuk ke rumahku dahulu,” tawar si perempuan. Si pria menggeleng dan menunjuk langit.
“Hujan sudah berhenti. Kau akan
pergi?” pria itu mengangguk dan melambaikan tangan lalu kembali menghilang.
***
Dia adalah pria misterius yang datang kepadaku saat hujan turun dan menghilang saat hujan reda. Dia yang menyusup ke dalam mimpiku setiap malam. Dia yang membuatku menantikan hujan setiap harinya. Dia yang membuat perjalananku terasa ringan. Si pria tanpa nama dengan payung biru tuanya. Aku sudah jatuh kepadanya.
Aku mengambil selembar kertas dan pensil. Dengan perlahan namun pasti aku mulai menggoreskan lengkungan-lengkungan di atas kertas itu. Matanya yang bulat, hidungnya yang lumayan mancung, bibirnya yang berbentuk hati saat tersenyum, dan payung birunya. Ah, semoga besok hujan turun lebih lama lagi agar kita bisa lebih dekat satu sama lain.
Siang ini aku duduk di halte yang sama, menatap langit sambil mengharap hujan turun dengan derasnya. Sebenarnya agak aneh juga, aku jatuh cinta pada orang yang belum aku kenal hanya dalam 6 hari pertemuan. Dalam 6 hari itu pula ia berhasil mengubah pandanganku tentang hujan. Dulu aku sangat membenci hujan, namun kini aku selalu menanti hujan. Aku kembali menatap langit, awan mulai meneteskan air. Satu tetes, dua tetes, lama kelamaan menjadi deras. Kali ini kuterima ulurannya tanpa ragu. Kami menikmati hujan di bawah lindungan payung biru. Namun tiba-tiba aku merasakan hujan menghantam kepalaku, ternyata pria itu melempar payung birunya.
“Apa yang kau lakukan?” aku langsung melayangkan protes. Ia hanya tersenyum, genggaman kami semakin mengerat. Tidak ada kata yang keluar dari mulut kami, hanya suara orkestra hujan dan nyanyian katak yang terdengar. Aku tersenyum, hujan ternyata tidak seburuk yang aku kira.
Tanpa aba-aba, ia membawaku masuk ke pelukannya. Jantungku berdegup lebih kencang. Aku merasakan kehangatan yang dipancarkan olehnya. Aku yakin ini bukan sekadar cinta monyet, bahkan umurku sekarang sudah tidak pantas untuk bermain-main dengan cinta.
“Apapun yang terjadi nanti, jangan pernah membenci hujan lagi,” suaranya merambat masuk ke indera pendengaranku. Aku terbelalak, ini pertama kalinya ia berbicara padaku. Segera saja aku melepas pelukan dan menatap pria itu tepat di mata bulatnya yang bersinar. Ia tersenyum dan balas menatapku.
“Apakah kau barusan mengucapkan sesuatu?” tanyaku lembut. Ia mengangguk, kemudian menatap langit.
“Hujan mulai reda. Kau akan pergi?” aku menatapnya tak rela. Ia mengangguk dan menampakkan wajah sedih.
“Apakah kita akan bertemu lagi setelah hari ini?” aku bertanya lagi. Ia mengangkat kedua bahunya, tidak tahu.
“Baiklah, semoga saja kita dapat bertemu lagi,” kataku memecah keheningan. Ia mengangguk, kemudian memberikan salam perpisahan. Lagi-lagi ia menghilang bersama hujan.
“Oh, payungnya!” aku segera mengambil payung biru yang tergeletak di trotoar dan mengedarkan pandanganku untuk mencari pria itu, namun aku tidak menemukan jejaknya.
“Baiklah,
mungkin aku akan kembalikan payung ini besok.”
***
“Ah, kau sudah pulang, Luvia,“ seorang pria menyambut kedatangan perempuan yang baru saja masuk dengan ceria.
“Tentu saja, kak. Aku akan mandi. Tolong jaga payung ini untukku,” Luvia menyodorkan payung biru digenggamannya pada kakak prianya. Ia mengambil beberapa keperluan lalu masuk ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian, Luvia sudah berkumpul kembali bersama kakaknya.
“Dari mana kau mendapat payung ini?” kakaknya bertanya.
“Itu milik orang yang setiap hari mengantarkanku pulang. Ia meninggalkannya di jalan,” jelas Luvia.
“Orang itu sepertinya membuatmu berubah. Aku ingin tahu dia seperti apa,” kakak Luvia itu mengutarakan rasa ingin tahunya.
“Ikut aku,” Ia menarik tangan kakaknya ke kamarnya.
“Itu dia,” Luvia menunjuk sketsa seorang pria bermata besar yang tertempel di dinding.
“Ah, kakak sepertinya kenal,” kakak Luvia mengeluarkan handphone dari sakunya.
“Inikah orangnya?” mata perempuan itu terbelalak saat melihat foto di dalam handphone milik kakaknya.
“Ya! Aku yakin, dia orangnya! Bagaimana kakak mengenalnya?”
“Dia adalah teman kakak, dia memiliki payung biru, persis seperti yang kau bawa tadi. Dia amat menyukai hujan dan juga mencintai dirimu,” cerita sang kakak. Luvia mendengarkannya dengan antusias.
“Pada waktu siang di hari Minggu dan turun hujan. Dia berniat untuk menemui dirimu, namun dia mengalami kecelakaan saat menyebrang menuju halte,” sang kakak mencoba mengambil napas setelah ia merasa napasnya tertahan beberapa saat.
“Lalu, dia baik-baik saja ‘kan sekarang? Berarti sudah cintanya terbalas,” cerocos Luvia.
“Sayang sekali, cintanya terbalas saat ia sudah tidak berada di tubuhnya lagi.” “Maksud kakak?” Luvia menampakkan wajah kebingungan dan mulai menerka-nerka apa maksud kakaknya itu. Ia membelalak tatkala mendapatkan jawaban.
“Ei, kakak bercanda bukan? T-tidak mungkin....”
“Aku
tidak bercanda, Luvia. Dia sebenarnya sudah meninggal karena kecelakaan itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah mengunjungi website resmi Himpunan Mahasiswa Kimia FMIPA UNY